BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Keluarga ada didasari perkawinan yang sah dimata hukum dan islam, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Atau perkawinan dapat juga diartikan sebagai pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau missaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya menurut ibadah.
Dari pengertian tersebut dapat dipetik bahwa intensi dari perkawinan adalah keluarga atau membentuk keluarga, inti dari keluarga adalah suami, isteri, dan anak. Anak adalah hal yang terpenting didalam keluarga, anak adalah penyambung keturunan, sebagian lain menganggap anak adalah investasi masa depan dari keluarga.
Seorang anak dapat dikatakan sah jika memiliki hubungan langsung atau hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah, dan ada pula anak yang hanya memiliki nasab dengan ibunya saja yang biasa di katakana sebagai anak zina atau anak di luar nikah/perkawinan.
Berdasarkan hal diatas, maka penulis mengkaji secara abstrak terhadap maksud anak diluar nikah/perkawinan atau anak zina didalam makalah ini yang kemudian penulis beri judul: ”ANAK DILUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM POSITIF”.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1.Apa maksud dari anak diluar nikah?
1.2.2.Bagaimana kedudukan anak diluar nikah?
1.3. TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai oleh pemakalah adalah agar para pendengar dan pembaca wabil khusus pemakalah dapat memahami dari rumusan-rumusan masalah yang akan dikembangkan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN ANAK DI LUAR NIKAH
Anak di luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil berhubungan yang dilarang atau diluar dari ikatan perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6. Didalam islam disebut sebagai anak zina (walad al-zina) dan didalam perdata disebut anak alam (orwettige onechte natuurlijke kindereri). Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah secara materil dan formil, sedangkan anak alam yaitu anak yang lahir dari hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak diakui dan tidak disahkan.
Didalam putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010 diistilahkan dengan “anak yang dilahirkan di luar pernikahan” yang sangat berbeda dengan frasa “tanpa perkawinan”.
Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut Hukum Perdata adalah :
1.Apabila orang tua anak tersebut salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan intim dan menghasilkan anak, maka anak tersebut adalah anak zina.
2.Apabila orang tua anak tersebut tidak terikat perkawinan lain (jejaka, perawan, duda, janda) mereka melakukan hubungan intim dan menghasilkan anak, maka anak tersebut adalah anak luar kawin.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan dari akibat pergaulan/hubungan seks antara pria dan wanita yang tidak dalam perkawinan yang sah antara mereka dan dari perbuatan ini dilarang oleh pemerintah maupun agama. Sedangkan pengertian lainnya yaitu anak yang lahir diluar perkawinan hanya mewarisi dari ibunya saja sedangkan terputus hubungan waris dengan ayah biologisnya.
2.2. KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH
2.2.1.Menurut Fiqih
Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang pernah dikumpuli atau sudah, dalam waktu 6 bulan kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah 6 bulan dari perkawinannya bukan dari masa berkumpulnya, maka anak yang lahir itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung. Adapun Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya. Karena itu, anak yang dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayah pezinanya sebagai anak sah.
Dalam produk fiqh klasik, jumhur ulama sepakat bahwa anak luar nikah tidak mendapat hak waris dari ayahnya dan sebaliknya, sebagimana disebutkan oleh Imam Syafi’i yang dikutip oleh Wahbah Zuhaily bahwa status anak zina disamakan dengan anak mula’anah dengan ketentuan bahwa anak tersebut terputus hubungan saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya, karena tidak adanya status nasab yang sah diantara mereka.
2.2.2.Menurut Kompilasi Hukum Islam
Akibat hukum anak luar nikah menurut KHI adalah anak tersebut tidak mendapatkan hak memperoleh hubungan nasab, nafkah, hak-hak waris (pewarisan), hadhanah (pemeliharaan/pengasuhan anak) dan perwalian dari ayah yang membenihkannya, melainkan kepada ibunya. Kedudukan anak zina dalam Islam kembali ditegaskan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 10 Maret 2012, yang menyatakan :
1.Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, nikah, waris dan nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2.Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafkah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Kompilasi Hukum Islam, pasal 186 menyatakan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam hal ini, sesuai dengan ketentuan dalam buku II Kompilasi Hukum Islam, tepatnya pada Pasal 171 huruf c dinyatakan bahwa: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
2.2.3.Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 43 ayat 1 ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Pengakuan seorang anak luar kawin dapat dilakukan pada :
1.Akta kelahiran sang anak yang akan diakui;
2.Akta autentik yang khusus dibuat untuk itu dihadapan dan oleh notaris;
3.Akta autentik yang dibuat oleh pejabat catatan sipil dan dibukukan dalam daftar catatan sipil sesuai dengan tanggal kelahiran anak.
Pengakuan anak luar kawin merupakan pengakuan seseorang baik bapak atau ibu dari anak luar kawin dimana pengakuan anak luar kawin ini harus memenuhi syarat-syarat dan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Akibat dari pengakuan anak luar kawin ini terhadap orang tuanya adalah terjadi hubungan perdata antara anak dengan bapak atau yang mengakuinya. Hal ini termuat dalam KUHPerdata, pasal 280.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian darah (keturunan) dan secara hukum hal ini melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk dalam lingkungan keturunan itu. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan keturunan-keturunan anak yang sah pula. Dengan demikian, maka sah atau tidaknya status seorang anak dan juga hubungan hukum seorang anak dengan orang tuanya sangat tergantung dari keabsahan perkawinan orang tuanya.
Kedudukan anak luar kawin menurut KUHPerdata anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan orang tua yang mengakuinya saja. Dengan demikian, anak luar kawin tidak mempunyai hubungan perdata dengan orang tua yang tidak mengakui sehingga tidak berhak atas hak waris, hak nafkah dan perwalian.
Menurut Hukum Islam, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan nasab hanya dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya sehingga tidak berhak atas hak waris, hak nafkah dengan ayah biologisnya dan ayah biologisnya tidak mempunyai hak untuk menjadi wali nikah. Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah “anak zina” tetapi mengenal istilah “anak yang lahir diluar perkawinan” yang statusnya sama dengan anak hasil hubungan suami isteri antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat tali perkawinan yang sah, yang meliputi anak yang lahir dari wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya, atau anak syubhat kecuali diakui oleh bapak syubhatnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 berimplikasi terhadap perubahan nilai-nilai dalam masyarakat mengenai status dan hak-hak anak terhadap anak luar kawin. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seperti dua mata uang. Di satu sisi melindungi hak-hak anak luar kawin, karena dengan putusan tersebut maka anak luar kawin mempunyai hak untuk mewaris, mendapatkan nafkah dan perwalian dari ayah biologisnya. Akan tetapi disis lain, putusan tersebut terkesan melemahkan fungsi dan menyebabkan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan.
3.2. SARAN
1.Lahirnya Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan dan status anak luar kawin, diharapkan untuk disegerakan melaksanakan realisasinya dengan mengeluarkan peraturan pelaksana terhadap putusan tersebut.
2.Diharapkan kepada pemerintah untuk berperan aktif dalam menanggapi Putusan MK tersebut dengan mengeluarkan peraturan hukum pelaksana yang menguatkan Putusan MK tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
BUKU:
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam; Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan, cet. 3, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012)
AKSES INTERNET:
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/1235/1/Wilda%20Srijunida.pdf diakses: minggu, 17 Maret 2019 pukul: 13:35 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar