Selasa, 17 Juli 2018

SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE

KATA PENGANTAR
Puji syukur dihanturkan kepada Allah SWT yang telah memberi kan begitu berlimpahnya rahmat dan hidayat-Nya yang berupa waktu, ilmu, akal, dan fikiran dalam menyelesaikan tugas yang sangat berarti bagi kita mahasiswa/I Fakultas Hukum Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai. Ucapan terima kasih tidak lupa pula kami berikan kepada dosen pengampu sekaligus pengajar serta pembimbing kami yakni bapak Nurjalal, S.HI., S.H., M.H yang telah memberikan suatu tunjuk ajar kepada kami sampai makalah yang berjudul “Aliran Sociological Jurisprudence” telah terselesaikan oleh kami.
Harapan kami bahwasanya makalah ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua dalam memahami aliran-aliran yang ada dalam hukum ini sebagai bekal kita dalam berdedikasi di dunia hukum nantinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan diberbagai aspek, oleh sebab itu kami menerima dengan luas segala kritik-kritik dan saran yang dilontarkan oleh para pembaca yang akan kami jadikan dasar mereview kembali makalah ini.
Semoga makalah ini dapat sebagai acuan dan tunjuk ajar bagi kita semua, atas segala kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih.

Bangkinang Kota, 2 Maret 2018

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................................ 1
Daftar Isi...............................................................................................................………………  2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................  3
1.1   Latar Belakang............................................................................................................  3
1.2   Rumusan masalah......................................................................................................... 3
1.3   Tujuan………………………………………………………....................................... 3
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................... 5
2.1 Aliran Sociological Jurisprudence................................................................................ 5
2.2 Pandangan Teori Tentang Fenomena Sosial................................................................. 6
2.3 Kelebihan & Kekurangan……………....................................................................... 8
BAB III PENUTUP................................................................................................................... 9
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 9
3.2 Pendapat Hukum……………………………………………………………………. 10
Daftar Pustaka......................................................................................................................... 11


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Filsafat hukum menurut Mr. Soetika (1997:2), mengatakan:
“filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar-dasar) hukum sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.”
Didalam filsafat hukum ada beberapa mahzab/aliran, yaitu:
Aliran Hukum Alam
Aliran Hukum Positif
Aliran Utilitarianisme
Mahzab Sejarah
Aliran Sociological Hukum
Aliran Realisme Hukum
Aliran Hukum Islam
Diantara 7 mahzab/aliran diatas disini kita akan membahas tentang Aliran Sociological Hukum . Aliran Sociological Jurisprudence ialah aliran dimana mempelajari tentang  pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Aliran ini dikembangkan oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cordoza, dll.

1.2.  Rumusan masalah.
Apakah Sociological Jurisprudence?
Bagaimana pandangan aliran terhadap permasalahan sosial?
Apa kelebihan dan kekurangan aliran Sociological Jurisprudence?

1.3. Tujuan
Untuk mengetahui tentang Sociological Jurisprudence.
Mengetahui permasalahan social yang ditanggapi oleh Aliran Sociological Jurisprudence.
Mengetahui kelebihan dan kekurangan Aliran Sociological Jurisprudence.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran ini dikembangkan oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cordoza, dll. Inti pemikiran mahzab ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kehidupan didalam masyarakat, dalam artian yaitu mempelajari tentang pengaruh timbul balik antara hukum dan masyarakat.
aliran sociological jurisprudence bisa dikatakan sebagai aliran yang memiliki berbagai pendekatan, dan dipandang dapat menedekatkan cita-cita akan hukum yang responsif dengan perkembangan masyarakat. Orang yang dianggap sebagai pelopor dari aliran sociological jurisprudence ialah Eugen Ehrlich (1826-1922) berdasarkan karyanya “Fundamental Principles of The Sociologi of Law”. Ajaran Ehrlich berpangkal pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup ( Living law), atau dengan kata lain suatu pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Dia menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut oleh atropolog sebagai kebudayaan ( culture patterns).
Aliran sociological jurisprudence muncul di Benua Eropa yang dipelopori ahli Hukum asal Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), dan berkembang di Amerika dengan pelopor Roscoe Pound. Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut sociological jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional” seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antarasociological jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law).
Menurut Lily Rasjidi, perbedaan antara sociological jurisprudence dan sosiologi hukum adalah sebagai berikut:
1.    Sociological jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi
2.    Walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda.
3.    Sociological jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarkat, sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum
Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence.
Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).

2.2. Pandangan Teori Tentang Fenomena Sosial
Aliran sociological jurisprudence bisa dikatakan sebagai aliran yang memiliki berbagai pendekatan, dan dipandang dapat menedekatkan cita-cita akan hukum yang responsif dengan perkembangan masyarakat. Orang yang dianggab sebagai pelopor dari aliran sociological jurisprudence ialah Eugen Ehrlich (1826-1922) berdasarkan karyanya “Fundamental Principles of The Sociologi of Law”. Ajaran Ehrlich berpangkal pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup ( Living law), atau dengan kata lain suatu pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Dia menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut oleh atropolog sebagai kebudayaan ( culture patterns).
Perlu dikembangkan aliransociological jurisprudence di Indonesia dimana hukum dibuat berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat atau berdasarkan perkembangan masyarakat bukan disesuaikan dengan keberadaan global. Sebagai salah satu contoh peraturan tertulis yang dibuat tidak berdasarkan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat Indonesia menurut penulis adalah Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Definisi pornografi dalam undang-undang tersebut dinilai terlalu luas sehingga dapat menimbulkan berbagai penafsiran.
Dalam pasal 1 UU nomor 44 tahun 2008 yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukkan di muka umum yang membuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Menurut penulis, seharusnya pengertian pornografi harus dipersempit lagi, karena jika dilihat dari sebagian budaya-budaya masyarakat Indonesia ada yang secara hukum melanggar UU tersebut baik dari segi pakaian, tarian dan lain-lain.
Permasalahan yang muncul disini adalah mengapa sociological jurisprudencepenting untuk dikembangkan di Indonesia yang menganut positivisme hukum? Filosofisociological jurisprudence adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia ada tiga hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum warisan Belanda, hukum adat dan hukum islam. Dengan adanya UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi artinya pembentukan hukum ini tidak sesuai dengan hukum adat (adat istiadat) masyarakat Indonesia mengingat bangsa Indonesia adalah multicultural tetapi dibentuk berdasarkan kepentingan politik dan kelompok-kelompok tertentu saja.
Merupakan hal yang wajar jika banyak pihak yang kontra terhadap pembentukan undang-undang ini misalnya masyarakat Bali, Papua, Maluku dan NTT. Hal ini dikarenakan pemerintah dalam membuat undang-undang ini hanya memperhatikan unsure normatifnya saja (ratio) tetapi tidak memperhatikan unsure empirisnya (pengalaman) sehingga secara hukum (positivisme hukum), adat istiadat mereka dapat dipidana karena bertentangan dengan UU pornografi ini.
Sekalipun aliran hukum sociological jurisprudence kelihatan sangat ideal, dengan cita hukum masyarakat yang terus menerus berubah ini, karena mengutamakan bagaimana suatu hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetapi aliran ini bukanlah tanpa kritik.  Ada 3 kelemahan dari aliran hukum ini yaitu:
1.      Aliran hukum ini tidak dapat memberikan kriteria yang jelas yang membedakan norma hukum dari norma sosial yang lain.
2.      Ehrlic meragukan posisi adat kebiasaan sebagai “sumber” hukum dan adat kebiasaan sebagai suatu “bentuk” hukum.
3.      Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan antara norma-norma hukum Negara yang khas dan norma-norma hukum dimana Negara hanya member sanksi pada fakta sosial.   
Aliran positivisme yang sedang berkembang di Indonesia saat ini tidak harus dihilangkan atau kemudian diganti dengan aliran hukum lain. Tetapi dalam merumuskan suatu aturan tertulis unsur normatif (ratio) dan empiric (pengalaman) harus ada. Kedua-duanya sama perlunya. Artinya hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkritisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan ahli hukum sebagai hasil kerja ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh Negara. Yang menjadi penting adalah bahwa cita-cita keadilan masyarakat dengan cita-cita keadilan yang dituju oleh penguasa harus selaras dan itu termanifestasikan dalam hukum.

2.3.  Kelebihan & Kekurangan
Kelebihan dari aliran Sosiological Jurisprudence :
Memperhatikan hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan di perlukan dalam kehidupan masyarakat,
bahwa titik berat perkembangan hukum terletak pada masyarakat itu sendiri dengan konsep dasarnya “living law” yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (volkgeist).
Kekurangan dari aliran Sosiological Jurisprudence :
ajaran tersebut tidak dapat memberikan kriteria yang jelas yang membedakan norma hukum dari norma sosial yang lain.
 meragukan pisisi adat kebiasaan sebagai “sumber” hukum dan adat kebiasaan sebagai suatu bentuk hukum.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar-dasar) hukum sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.
Aliran ini dikembangkan oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cordoza, dll. Inti pemikiran mahzab ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kehidupan didalam masyarakat, dalam artian yaitu mempelajari tentang pengaruh timbul balik antara hukum dan masyarakat.
Aliran sociological jurisprudence muncul di Benua Eropa yang dipelopori ahli Hukum asal Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), dan berkembang di Amerika dengan pelopor Roscoe Pound. Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut sociological jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional” seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antarasociological jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law).
Kelebihan dari aliran Sosiological Jurisprudence :
Memperhatikan hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan di perlukan dalam kehidupan masyarakat,
bahwa titik berat perkembangan hukum terletak pada masyarakat itu sendiri dengan konsep dasarnya “living law” yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (volkgeist).
Kekurangan dari aliran Sosiological Jurisprudence :
ajaran tersebut tidak dapat memberikan kriteria yang jelas yang membedakan norma hukum dari norma sosial yang lain.
 meragukan pisisi adat kebiasaan sebagai “sumber” hukum dan adat kebiasaan sebagai suatu bentuk hukum.

Pendapat Hukum
Sociological Jurisprudence adalah salah satu aliran yang ada hukum yang berpendapat bahwa hukum yang baik, hukum yang efisien adalah bersumber atau berdasar sesuai dengan kebutuhan yang hidup didalam masyarakat.




















DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Lily Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung Citra Aditya Bakti, 2007.
Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum “Refleksi Kritis terhadap Hukum”, Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada.
H Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, 2006.
Website:
https://blowrian.wordpress.com/2015/03/26/roscoe-pound-law-a-tool-of-social-engineering-sociological-jurisprudence/

Hukum Adat dan Kebudayaan Melayu di Provinsi Riau

KATA PENGANTAR
Puji syukur dihanturkan kepada Allah SWT yang telah memberi kan begitu berlimpahnya rahmat dan hidayat-Nya yang berupa waktu, ilmu, akal, dan fikiran dalam menyelesaikan tugas yang sangat berarti bagi kita mahasiswa/I Fakultas Hukum Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai. Ucapan terima kasih tidak lupa pula kami berikan kepada dosen pengampu sekaligus pengajar serta pembimbing kami yakni bapak Hafiz Sutrisno, S.H., M.H yang telah memberikan suatu tunjuk ajar kepada kami sampai makalah yang berjudul “ADAT DAN KEBUDAYAAN MELAYU DI PROVINSI RIAU” telah terselesaikan oleh kami.
Harapan kami bahwasanya makalah ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua dalam memahami adat melayu yang ada dalam tanah lancing kuning  ini sebagai bekal kita dalam berwawasan di adat tempat kita tinggal. Tidak dapat dipungkiri bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan diberbagai aspek, oleh sebab itu kami menerima dengan luas segala kritik-kritik dan saran yang dilontarkan oleh para pembaca yang akan kami jadikan dasar mereview kembali makalah ini.
Semoga makalah ini dapat sebagai acuan dan tunjuk ajar bagi kita semua, atas segala kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih.

Bangkinang Kota, 11 Maret 2018

Penyusun


DAFTAR ISI


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
 Adat merupakan inti atau nukleus dari peradaban atau sivilisasi Melayu. Dapat ditafsirkan bahwa adat dalam kebudayaan Melayu ini, telah ada sejak manusia Melayu ada. Adat selalu dikaitkan dengan bagaimana manusia mengelola dirinya, kelompok, serta hubungan manusia dengan alam (baik alam nyata maupun gaib atau supernatural), dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dengan demikian adat memiliki makna yang “sinonim” dengan kebudayaan.
Tafsiran dibuat berdasarkan ujian dan analisis kritis terhadap data yang diperoleh dari rekaman atau peninggalan masa lalu itu. Sejarah dalam uraian berikut tidak terpisah dari budaya atau kebudayaan (cultural historygraphy)1. Berkaitan dengan kebudayaan melayu, sejarah pertumbuhannya dapat ditelusuri sejak zaman prasejarah. Pertama, peninggalan manusia prasejarah serta kebudayaannya masa itu, meliputi artefak dan fosil. Kedua, suku-suku bangsa yang waktu itu hidup terbelakang.2
Ungkapan adat Melayu menjelaskan, biar mati anak, jangan mati adat mencerminkan betapa pentingnya eksistensi adat dalam kehidupan masyarakat Melayu. Dalam konsep etnosains Melayu, dikatakan bahwa mati anak duka sekampung, mati adat duka senegeri, yang menegaskan keutamaan adat yang menjadi anutan seluruh lapisan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari sisi lain, makna ungkapan adat biar mati anak jangan mati adat mengandung makna bahwa adat (hukum adat) wajib ditegakkan, walaupun harus mengorbankan keluarga sendiri. Maknanya adalah adat adalah aspek mendasar dalam menjaga harmoni dan konsistensi internal budaya, yang menjaga keberlangsungan struktur sosial dan kesinambungan kebudayaan secara umum. Jika adat mati maka mati pula peradaban masyarakat pendukung adat tersebut. salah satu yang dihindari oleh orang Melayu adalah ia tidak tahu adat atau tidak beradat. Pernyataan ini bukan hanya sekedar hinaan, yang dimaknai secara budaya adalah kasar, liar, tidak bersopan santun, tidak berbudi—tetapi juga ia tidak beragama, karena adat Melayu adalah berdasar pada agama. Jadi tidak beradat sinonim maknanya dengan tidak beragama.3
Berikut kami akan mencoba mengupas tentang kebudayaan adat melayu terkhusus melayu Riau, khususnya melayu Kampar.

1.2.  Rumusan masalah.
Seperti apa sejarah adat melayu?
Seperti apa struktur adat melayu?
bagaimana cara menyelesaikan permasalahan adat melayu?
Apa kelebihan dan kekurangan adat melayu?

1.3. Tujuan
Untuk tuntunan tugas pembelajaran hukum adat/Adat Recht.
Mengetahui tentang adat melayu.
Sebagai pedoman untuk mengetahui teori-teori hukum adat melayu.
Untuk mengetahui struktur adat, kelebihan dan kekurangan adat melayu itu.
Mengetahui cara menyelesaikan permasalahan adat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Adat Melayu
Adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Masyarakat Alam Melayu yang telah menerima pengaruh Islam dan peradaban Arab, mengetahui arti dan konsep adat. Walau demikian halnya, ternyata bahwa hampir semua masyarakat Alam Melayu atau Nusantara, baik masyarakat itu telah menerima pengaruh peradaban Islam atau tidak, telah memadukan konsep itu dengan arti yang hampir sama dalam kebudayaan mereka.4 
Kebudayaan Melayu merupakan salah satu pilar penopang kebudayaan nasional Indonesia khususnya dan kebudayaan dunia umumnya. Masa lampau sebagian dari wilayah didunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, dan lain-lainya.
Sebelum islam, Melayu dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang menggunakan bahasa tertentu yang disifatkan sebagai salah satu bahasa daerah. Dengan kepercayaan terhadap Hindu-Budha, mereka tersebar diseluruh Asia Tenggara dengan ciri-ciri budaya, dan keagamaan yang sama. Setelah islamisasi meluas di nusantara, istilah melayu ini digunakan untuk semua rumpun dinusantara, sehingga ia dikenal sebagai “Alam Melayu” atau “Dunia Melayu”. 
Dikalangan masyarakat banyak terdapat historiografi berupa hikayat, silsilah, babad, cerita, syair, dan sejenisnya yang mengungkapkan tentang ”perkembangan awal” islam diberbagai kawasan Asia Tenggara.5 Bangsa Melayu merupakan bangsa yang terbuka hal ini disebabkan oleh mata pencahariannya yang bersumber pada laut, sungai, dan alam sekitarnya, sehingga mereka memilih membuat kampong bahkan ibu kota kerajaan ditepi laut atau sungai. Akibatnya semua pengaruh dunia seperti agama, budaya, social-politik, dan ekonomi dunia mempengaruhi budaya bangsa melayu.
Sejak dahulu, bangsa melayu membina kebudayaan sendiri sehingga menjadi tahap tamaddun yang tinggi, yang telah memberi sumbangan terhadap budaya (culture) dan tamaddun (civilitation) dunia. Hasil seni arsitektur bangunan melayu champa dari abad ke-4 sampai 15 dan melayu jawa dengan candi stupanya, terutama candi Borobudur dan prambanan diabad ke-9 sampai 13.

Sejarah kebudayaan melayu bermula dari sungai melayu seperti yang tercatat didalam ”Sejarah Melayu”. Melayu yang terdapat didalam sejarah tersebar diseluruh wilayah pesisir dan maritimebased diawal-awal abad masehi merupakan kerajaan maritime bukannya kerajaan agrarianbased. Kerajaan melayu yang lainnya seperti Pasai, Aru, Inderagiri, Rokan, Tungkal, Melaka, Aceh, Johor-Riau-Lingga, dll.
Ada 6 macam puak melayu yang ada di Riau
Puak melayu Riau–Lingga, mendiami kekas kerajaan Riau–Lingga, yaitu sebagian besar daerah kepulauan Riau yang sekarang terdiri dari kabupaten kepulauan Riau, karimun dan natuna. Mereka sebagian telah nikah–kawin dengan perantau Bugis dalam abab ke- 18.
Puak melayu Siak, mendiami bekas kerajaan Siak yang sebagian besar merupakan daerah aliran sungai Siak. Mereka sebagian nikah–kawin dengan keturunan Arab sehingga sebagian dari sultan Siak keturunan Arab.
Puak melayu Kampar, mendiami daerah aliran batang Kampar, mereka ada yang nikah–kawin dengan perantau minangkabau dan ada pula dengan orang jawa yang menjadi Romusha Jepang.
Puak melayu Indragiri, mendiami daerah Indragiri takni daerah aliran sungai Indragiri, mereka ada yang nikah–kawin dengan perantau Banjar dan juga keturuanan Arab.
Puak melayu Rantau Kuantan, mendiami daerah aliran Batang Kuantan yang telah masuk kedalam kabupaten Kuantan Singingi.
Puak melayu Petalangan, mendiami daerah Belantara  yang dilalui beberapa cabang (anak) sungai didaerah Pangkalan Kuras.


Struktur Pemerintahan Adat Melayu.


















Sultan : sebagai penghulu yang dituakan yang dikenal dengan datuk agung sebagai puncak pemerintahan.
Kedatuan Sejawat : berkedudukan sebagai menteri dalam pelaksanaan tugas membantu penghulu besar nan agung, bahkan diantaranya diberi porsi sebagai jawatan penasehat system kerajaan.
Hulubalang/Panglima : sebagai pengawal yang disesuaikan dengan kedudukan datuk pada keadaan-keadaan umum. Bilamana ada keaadaan khusus dapat menjadi utusan/perwakilan atas perintah sultan tertinggi.
Kedatuan Kelompok : yang memimpin kelompok-kelompok kesukuan atau kelompok-kelompok diperkampungan dalam kepemerintahan sultan.
Penghulu Besar : orang yang menerima amanah dari sultan atau orang yang ditunjuk oleh kelompok masyaraakt tertentu dalam wilayah tertentu sebagai orang yang dituakan untuk memimpin daerah tersebut yang di pilih dan dilaksanakan sesuai dengan system kultur pemerintahan adat setempat.
Penghulu kecik : memimpin kelompok yang lebih kecil atau kampung-kampung yang kecil didalam pemerintahan kesultanan tersebut.
Datuk penghulu&batin : terhubung pada hal diatas “Penghulu kecik” perpanjang tangan datuk penghulu besar. Batin juga merupakan perpanjangan datuk penghulu besar yang memimpin kelompok-kelompok kecil.
Sebagai penopang ritualisasi keagamaan didalam kesultanan terdapat beberapa gelar ataupun posisi tertentu yang berhubungan dengan system kesultanan diatas baik yang agung, yang besar, ataupun yang kecil, diantara nya:
Datuk Malin/Malin
Datuk Paqih/Poqio
Datuk Labay/Lobay
Datuk Kadi/Sang Angku Kadi
Orang-orang ini merupakan penopang utama dalam social keyakinan keagamaan dikerajaan melayu seperti: untuk berdoa pada acara-acara tertentu dan/ melakukan ritualisasi perkawinan menurut syariat islam dikerajaan melayu. Hal ini dikarenakan pada umumnya kerajaan melayu identic erat dengan keagamaan islam.

2.2. Cara Penyelesaian Masalah Adat Melayu
Pelaksanaan hukum adat melayu pada satu sisi tergantung kepada tingkat persoalan yang terjadi, diantaranya dapat diselesaikan secara kedatuan yang bersifat keangkuan (ulama yang tersebut diatas) atau pada tingkat system pemerintahannya yang akan dilakukan oleh datuk para penghulu.
System hukuman yang berlaku adalah berdasarkan hukum kebiasaan yang berlaku didaerah ataupun perkampungan tersebut berdasarkan azas musyawarah mufakat. Hukum tersebut dapat berupa :
Hukum social (perlakuan sikap sosial) ditengah masyarakat atau kampong tersebut.
Hukum berupa denda benda/materi pada istilah lain disebut juga sabagai DAM. Dapat berupa padi/beras, hewan ternak, emas, dsb. Sesuai dengan keputusan hasil musyawarah.
Sanksi berat dapat merupakan pengusiran atau penghapusan identitas dari kampong tersebut.

2.3.  Kelebihan & Kekurangan Adat Melayu
Kelebihan dan kekurangan suatu adat terletak pada system berlakunya adat tersebut, dimana pada saat zaman sekarang system pemerintahan secara nasional mempengaruhi system pemerintahan adat dan budaya yang dikenal sebagai evolusi budaya.
Hal ini terjadi seringkali pada keadaan tertentu hukum legalitas pemerintahan bisa berbenturan dengan hukum adat.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Masyarakat Alam Melayu yang telah menerima pengaruh Islam dan peradaban Arab, mengetahui arti dan konsep adat. Walau demikian halnya, ternyata bahwa hampir semua masyarakat Alam Melayu atau Nusantara, baik masyarakat itu telah menerima pengaruh peradaban Islam atau tidak, telah memadukan konsep itu dengan arti yang hampir sama dalam kebudayaan mereka
Sejak dahulu, bangsa melayu membina kebudayaan sendiri sehingga menjadi tahap tamaddun yang tinggi, yang telah memberi sumbangan terhadap budaya (culture) dan tamaddun (civilitation) dunia. Hasil seni arsitektur bangunan melayu champa dari abad ke-4 sampai 15 dan melayu jawa dengan candi stupanya, terutama candi Borobudur dan prambanan diabad ke-9 sampai 13.
Sejarah kebudayaan melayu bermula dari sungai melayu seperti yang tercatat didalam ”Sejarah Melayu”. Melayu yang terdapat didalam sejarah tersebar diseluruh wilayah pesisir dan maritimebased diawal-awal abad masehi merupakan kerajaan maritime bukannya kerajaan agrarianbased. Kerajaan melayu yang lainnya seperti Pasai, Aru, Inderagiri, Rokan, Tungkal, Melaka, Aceh, Johor-Riau-Lingga, dll.

Struktur Pemerintahan Adat Melayu.
Sultan : sebagai penghulu yang dituakan yang dikenal dengan datuk agung sebagai puncak pemerintahan.
Kedatuan Sejawat : berkedudukan sebagai menteri dalam pelaksanaan tugas membantu penghulu besar nan agung, bahkan diantaranya diberi porsi sebagai jawatan penasehat system kerajaan.
Hulubalang/Panglima : sebagai pengawal yang disesuaikan dengan kedudukan datuk pada keadaan-keadaan umum. Bilamana ada keaadaan khusus dapat menjadi utusan/perwakilan atas perintah sultan tertinggi.
Kedatuan Kelompok : yang memimpin kelompok-kelompok kesukuan atau kelompok-kelompok diperkampungan dalam kepemerintahan sultan.
Penghulu Besar : orang yang menerima amanah dari sultan atau orang yang ditunjuk oleh kelompok masyaraakt tertentu dalam wilayah tertentu sebagai orang yang dituakan untuk memimpin daerah tersebut yang di pilih dan dilaksanakan sesuai dengan system kultur pemerintahan adat setempat.
Penghulu kecik : memimpin kelompok yang lebih kecil atau kampung-kampung yang kecil didalam pemerintahan kesultanan tersebut.
Datuk penghulu&batin : terhubung pada hal diatas “Penghulu kecik” perpanjang tangan datuk penghulu besar. Batin juga merupakan perpanjangan datuk penghulu besar yang memimpin kelompok-kelompok kecil.
Sebagai penopang ritualisasi keagamaan didalam kesultanan terdapat beberapa gelar ataupun posisi tertentu yang berhubungan dengan system kesultanan diatas baik yang agung, yang besar, ataupun yang kecil, diantara nya:
Datuk Malin/Malin
Datuk Paqih/Poqio
Datuk Labay/Lobay
Datuk Kadi/Sang Angku Kadi
Orang-orang ini merupakan penopang utama dalam social keyakinan keagamaan dikerajaan melayu seperti: untuk berdoa pada acara-acara tertentu dan/ melakukan ritualisasi perkawinan menurut syariat islam dikerajaan melayu. Hal ini dikarenakan pada umumnya kerajaan melayu identic erat dengan keagamaan islam.
Pelaksanaan hukum adat melayu pada satu sisi tergantung kepada tingkat persoalan yang terjadi, diantaranya dapat diselesaikan secara kedatuan yang bersifat keangkuan (ulama yang tersebut diatas) atau pada tingkat system pemerintahannya yang akan dilakukan oleh datuk para penghulu.
System hukuman yang berlaku adalah berdasarkan hukum kebiasaan yang berlaku didaerah ataupun perkampungan tersebut berdasarkan azas musyawarah mufakat. Hukum tersebut dapat berupa :
Hukum social (perlakuan sikap sosial) ditengah masyarakat atau kampong tersebut.
Hukum berupa denda benda/materi pada istilah lain disebut juga sabagai DAM. Dapat berupa padi/beras, hewan ternak, emas, dsb. Sesuai dengan keputusan hasil musyawarah.
Sanksi berat dapat merupakan pengusiran atau penghapusan identitas dari kampong tersebut.
Kelebihan dan kekurangan suatu adat terletak pada system berlakunya adat tersebut, dimana pada saat zaman sekarang system pemerintahan secara nasional mempengaruhi system pemerintahan adat dan budaya yang dikenal sebagai evolusi budaya.
Hal ini terjadi seringkali pada keadaan tertentu hukum legalitas pemerintahan bisa berbenturan dengan hukum adat.
Saran
Hukum adat melayu agar tidak menjadi sebuah simbolik belaka haruslah seyogyanya mendapat pengakuan legitiminasi dari system pemerintahan yang berlaku secara global nasional. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan namun hal itu ada seperti daerah-daerah yang berotonomi khusus, contohnya: Yogyakarta, NAD, dan Irian Jaya.
Mereka diaplikasikan dalam otonomi khusus dengan system pemerintahan aplikasi akar budaya setempat. Pada tingkat lanjut, dapat disarankan pewarisan culture budaya secara continue antara pemerintah daerah dengan masyarakat-masyarakat pelaku budaya tersebut.
Sebagai contoh aplikasi yang senantiasa bertentangan, kepemilikan sebuah tanah culture budaya diatur oleh para penghulu yang disebut sebagai ninik mamak. Namun tidak jarang pengaturan ini disengaja atau tidak sengaja terbentur oleh system hukum positif yang dimulai dari system kedesaan/kelurahan.

Pendapat Lain.
Melayu/Malakawi (Mala/Malay:Melayu ; Kawi:tua). Dari peradaban Minanga/Minanga Champlar yang konon akhirnya disebut dengan Kampar dari etnis orang-orang Kampar. Bahwasanya kata adat sebelum masuk islam telah ada disebut dengan Ghandak yang luluh menjadi kata Ghadat sebagai imbuhan perilaku yang ditetapkan, yang akhirnya berevolusi menjadi kata adat.
DAFTAR PUSTAKA
Elmustian Rahman;Tien Marni;Zulkarnai. 2003. Alam Melayu Sejumlah Gagasan Menjemput Keagungan. UNRI PRESS. Pekanbaru
Mahdini, 2002, Islam dan Kebudayaan Melayu, Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru
Ali Akbar Dt Pangeran, 2006, Islam dan Adat Andiko 44 Melayu Riau, LAMR Pekanbaru, Pekanbaru
Ahmad Firdaus, Profil Adat Kabupaten Kampar, CV Geometric Tehnik Consultant, Bangkinang
Zainal Kling, 2004
Tennas Efendi, 2004

Narasumber:
Herry Tontuo, Tokoh Masyarakat Kampar, Budayawan Kampar, Seniman Kampar